Samarinda – Polemik tentang brebet atau tersendatnya motor milik warga Samarinda setelah mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax di sejumlah SPBU masih menjadi perdebatan.
Dalam laporan resminya, pihak Pertamina mengklaim hasil pengujian di terminal distribusi menunjukkan kualitas Pertamax berada dalam batas standar.
Namun demikian, tim akademisi dari Politeknik Negeri Samarinda menunjukkan hasil sebaliknya. Tim kajian ilmiah yang difasilitasi Wali Kota Samarinda Andi Harun ini menyatakan bahwa Pertamax yang beredar di sejumlah SPBU terindikasi mengalami penurunan kualitas.
Temuan tim akademisi itu berdasarkan hasil kajian sampel Pertamax yang diambil langsung dari sejumlah kendaraan bermotor milik warga terdampak.
Tiga sampel BBM dari kendaraan berbeda dianalisis, dan hasilnya menunjukkan bahwa angka RON (Research Octane Number) parameter utama dalam menentukan kualitas BBM Pertamax berada di bawah standar minimum 92.
Rinciannya Sampel 1: RON = 86,7. Sampel 2: RON = 89,6 dan Sampel 3: RON = 91,6. Sampel ketiga yang memiliki RON terbaik dipilih untuk diuji mendalam pada parameter lainnya.
Hasilnya menunjukkan ketidaksesuaian dalam empat parameter penting, yakni kandungan timbal: 66 ppm (batas normal: nol atau mendekati nol).
Kemudian, kandungan air: 742 ppm (melebihi ambang aman), total Aromatik: 51,16% v/v, kandungan Benzen: 8,38% v/v (zat karsinogenik berbahaya).
Selanjutnya, Andi Harun menjelaskan, uji lanjutan menggunakan metode SEM-EDX dan FTIR juga mengungkap temuan mengkhawatirkan.
BBM dari kendaraan terdampak mengandung logam berat seperti Timah (Sn), Rhenium (Re), dan Timbal (Pb) yang mempercepat proses oksidasi dan pembentukan hidrokarbon kompleks.
FTIR-Analyzer mendeteksi terbentuknya senyawa polimer seperti polyethylene, polystyrene, polypropylene, dan polyacrylonitrile senyawa berbobot molekul besar yang dikenal sebagai pemicu pembentukan gum.
Gum inilah yang menyumbat sistem injeksi bahan bakar dan menyebabkan kendaraan mengalami kerusakan, sehingga hasil penelitian tersebut memperjelas bahwa kerusakan kendaraan bermotor yang dialami masyarakat Samarinda disebabkan oleh kualitas BBM yang sudah tidak memenuhi standar.
“Ini bukan hanya tentang kualitas distribusi, tapi juga kemungkinan adanya kontaminasi dan kerusakan selama penyimpanan,” tegas Andi Harun.
Selain itu, dari hasil penelitian tersebut juga mengidentifikasi beberapa faktor penyebab rusaknya BBM. Hal ini seperti, penyimpanan yang terlalu lama, paparan sinar matahari, kontaminasi kelembaban atau logam berat, ventilasi penyimpanan yang buruk, dan penambahan aditif secara tidak terukur.
Berdasarkan kajian itu, Wali Kota Andi Harun menyatakan komitmennya untuk menindaklanjuti temuan ini dan memastikan perlindungan bagi konsumen di Samarinda.
Ia juga meminta pihak terkait, khususnya Pertamina dan pemilik SPBU, untuk melakukan audit menyeluruh terhadap proses distribusi dan penyimpanan BBM.
“Kami tidak ingin masyarakat dirugikan karena BBM yang tidak sesuai standar. Pemerintah Kota Samarinda akan meminta investigasi menyeluruh dan perbaikan sistem penyimpanan BBM di seluruh SPBU di Samarinda,” tegas Andi Harun.
Dengan temuan tim akademisi dari Politeknik Negeri Samarinda, maka pihak pemkot berharap ada langkah cepat dari otoritas dan badan pengawas terkait untuk menghindari kerusakan kendaraan lebih lanjut.
Harapan ini untuk menjaga kepercayaan publik terhadap kualitas BBM yang digunakan untuk kendarannya setiap hari.