Jakarta – Pengusaha tekstil memperingatkan tentang ancaman gelombang impor garmen yang mungkin berlanjut hingga tahun 2024. Tidak hanya berasal dari China, tetapi juga dari India, Korea, Taiwan, dan Vietnam.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFi), Redma Gita Wirawasta, serbuan impor ini berpotensi berlangsung terus menerus, kecuali ada tindakan yang diambil oleh pemerintah. Dia menjelaskan bahwa China, India, Korea, Taiwan, dan Vietnam sedang menghadapi kelebihan stok, yang dapat berdampak pada volume impor mereka. Hal ini disampaikan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada Jumat (7/7/2023).
Dampak Tingginya Impor Apparel dan Garmen Terhadap Industri Lokal
“Impor apparel atau garmen itu pertumbuhannya lebih tinggi, meski kain memang secara volume lebih besar. Indonesia akan semakin dibanjiri garmen impor. Ini yang jadi masalah utama kita,” tukasnya.
Apalagi, lanjut Redma, tak hanya dari segi volume, RI juga harus bersiap dengan serbuan barang China yang jauh lebih murah.
“Harganya barang China itu sudah tak wajar memang. Kalau bicara dari biaya produksi, paling dia sebenarnya hanya lebih murah 10% dari kita. Katakanlah kalau ekspor dia dapat rebate, ya mungkin lebih murah 20% ya,” katanya.
“Tapi, ini murahnya itu sudah tak wajar. Apalagi, kita memberlakukan safeguard,” ujar Redma.
Padahal, kata dia, barang tersebut masuk lewat jalur impor legal. Namun, ungkapnya, ada modus tak wajar.
“Barang-barang ini masuk lewat jasa impor. Bisa dibuka linknya ada (di platform belanja online). Yang menawarkan jasa impor resmi, jasa impor borongan, jasa impor door to door, bahkan sampai state dijamin lewat jalur hijau. Kalau jalur merah uang dikembalikan sepenuhnnya,” ungkap Redma.
Strategi Impor dari China: Ancaman dan Dampaknya bagi Pasar Dalam Negeri
“Bayangkan, kalau impor garmen dari China, 1 kontainer 20 ton. 1 kg itu 5 pieces. Dan kalau dia impor borongan, saya jamin nggak akan dibuka. Apalagi kalau jalur hijau, pasti masuk aja, nggak akan dibongkar Bea Cukai,” tambahnya.
Akibatnya, kata dia, barang impor itu melenggang masuk ke Indonesia.
Parahnya lagi, bakal dijual di pasar dalam negeri dengan harga yang sangat murah.
“Bayangkan, kalau 1 kontainer itu bisa harganya Rp1,2 miliar. Dengan PPN sama tarif safeguard, kira-kira seharusnya pajak yang dibayar itu bisa mencapai Rp700-800 juta. Tapi, karena borongan, dia nggak bayar PPN dan nggak bayar pajak safeguard,” tuturnya.
“Jadi cuma dibayar aja gelondongan Rp200 juta. Harusnya harga 1 kontainer itu termasuk pajak Rp2 miliar, jadi hanya Rp1,4 miliar. Itu dijual di dalam negeri. Harganya jadi lebih murah,” katanya.
Belum lagi, lanjut Redma, karena overstock di negara asalnya, produsen di China bisa saja menjual dengan harga miring. Artinya tak lagi Rp1,2 miliar, misalnya.
“Kan kalau ekspor, dia (produsen) bisa dapat rebate (potongan), katakanlah 10%. Jadi dia mau-mau aja jual murah karena sudah kelebihan barang di sana,” kata Redma.
“Pemerintah harus segera bertindak. Ini Seharusnya sudah lampu merah bagi pemerintah. Apalagi dengan kondisi global saat ini,” pungkas Redma.