Jakarta – Para pelaku usaha ritel yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengaku sudah tidak bisa percaya dan tak ingin peduli lagi jika suatu saat pemerintah memberikan penugasan kepadanya.
“Anggota (Aprindo) sendiri yang sudah bete dan besok-besok kalau ada penugasan dari pemerintah, emangnya gue pikirin,” ujar Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey kepada wartawan, Jumat (28/4/2023).
Kekecewaan para peritel tersebut dilatarbelakangi oleh pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng yang mampet. Setelah 1,5 tahun lamanya Aprindo tak kunjung mendapatkan pembayaran rafaksi senilai Rp 344 miliar.
Roy menerangkan kronologisnya, pada saat itu rakyat tengah menjerit karena harga minyak goreng per liternya mahal, di atas Rp 24.000 per liter. Oleh sebabnya, pemerintah pun memutuskan untuk mengajak pelaku usaha ritel turut membantu melancarkan program satu harga, di mana para peritel diminta membanderol seluruh harga minyak goreng di ritel modern Rp 14.000 per liter, nanti selisih harganya akan dibayarkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hal itu tertuang dalam Permendag Nomor 3 Tahun 2022.
“(Saat itu) rakyat menjerit karena per liternya mahal di atas Rp 24.000, sudah kita buat deh Rp 14.000 ya, nanti kita dukung, diganti uangnya bukan dari APBN, dari BPDPKS karena itu uang swasta yang dititipkan, yang diberikan sebagai ongkos pungutan ekspor,” terang Roy.
Namun, sampai dengan saat ini Aprindo masih belum menerima pembayaran dari selisih harga tersebut. Kemendag terus-menerus berdalih masih menunggu opini hukum dari Kejaksaan Agung, sebab Permendag 3 telah dicabut dan digantikan oleh Permendag 6 sehingga Kemendag takut untuk memberi izin BPDPKS dalam membayarkan rafaksi minyak goreng tersebut.
Padahal, sebelumnya dalam Permendag Nomor 3 Tahun 2022 dicantumkan bahwa pembayaran rafaksi minyak goreng akan dibayarkan 17 hari setelah program tersebut selesai. Artinya, pada 17 Februari 2022 seharusnya para peritel sudah mendapatkan pembayaran selisih tersebut, namun sayangnya hingga kini peritel masih juga belum dibayarkan.
“Iya benar (akan dibayarkan 17 hari setelahnya). Jadi kalau (Kemendag) bilang ‘ya kan lama pilih verifikator, ya lama harus dilelang’, ya itu urusan kalian lah. Kenapa bisa menuliskan itu di dalam satu peraturan yang adalah hukum negara, kenapa berani tulis 17 hari? Kalau kalian tahu prosesnya akan ada lelang verifikator, akan ada proses, ya kenapa dituliskan seperti itu. Apakah perlu diajarin penulisan Permendag itu? Kenapa tulis 17 hari,” tutur dia.
“Kemudian sekarang dibilang waktunya gak cukup. Verifikatornya kan lama mesti dilelang, lelang itu kemudian berapa kali, baru nanti diproses, prosesnya juga. Hayah hayah hayah, ya itu makanya saya katakan, semakin bingung dan semakin lucu ceritanya. Pepatah kan bilang, alasan itu hanya untuk menutupi yang tidak sebenarnya,” tambahnya.
Karena bete tak kunjung mendapatkan kepastian dari pembayaran rafaksi senilai Rp 344 miliar, Aprindo memutuskan untuk tetap mempertimbangkan opsi penghentian pembelian minyak goreng untuk mengisi stok persediaan di ritel-ritel modern.
“Apapun ini, Aprindo bertindak dan berlaku berdasarkan anggota, bukan pribadi. Berdasarkan suara anggota. Jadi kita akan meeting kan lagi setelah lebaran ini mengenai opsi (penghentian pembelian minyak goreng). Kalau ditanya kapan diberlakukannya, ya kita lihat perkembangan lah,” ujar Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey.
Roy mengatakan, pihaknya masih akan tetap menunggu perkembangan yang ada, baik menunggu keputusan para anggota, maupun menunggu itikat Kemendag terkait dengan pembayaran utangnya tersebut.
“Kalau misalnya kita dipanggil dan dijelaskan, kemudian kita akan minta jawaban secara tertulis sehingga kita punya pegangan, nah opsi (penghentian pembelian minyak goreng) itu bisa saja menjadi mundur. Tapi kalau berlarut-larut, dibilang minggu depan, terus minggu depan lagi bilang minggu depan, ya bete lah kita,” ujarnya.