Jakarta – Penerimaan kepabeanan dan cukai pemerintah mengalami penurunan signifikan pada semester pertama tahun 2023. Hingga akhir Juni 2023, jumlah yang terkumpul hanya mencapai Rp 135,4 triliun atau mengalami penurunan sebesar 18,8% dibandingkan dengan semester pertama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 166,8 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 55,8%.
Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai tersebut hanya mencapai 44,7% dari target yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023, yaitu sebesar Rp 303,2 triliun. Hal ini menjadi perhatian mengingat bahwa pada periode yang sama tahun sebelumnya, realisasi sudah mencapai 55,8% dari target sebesar Rp 166,8 triliun.
Sri Mulyani Indrawati Mengungkapkan Penurunan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, turunnya penerimaan kepabeanan dan cukai itu dipengaruhi oleh anjloknya dua sektornya, yaitu cukai dan bea keluar. Sedangkan bea masuk masih mampu tumbuh dibanding periode yang sama pada tahun lalu.
Penerimaan cukai hanya mencapai Rp 105,9 triliun atau turun 12,2% dari semester I-2022 yang sebesar Rp 120,6 triliun. Anjloknya penerimaan cukai itu kata dia dipengaruhi oleh semakin turunnya produksi rokok atau hasil tembakau yang hanya sebesar 139,4 miliar per batang dari dua tahun sebelumnya 147,9 miliar dan 151,2 miliar per batang.
“Realisasi penerimaan bea cukai kontraksi dalam karena satu, adanya cukai yang turun produksinya cukup signifikan tahun 2023,” kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, seperti dikutip Selasa (10/7/2023).
Produksi hasil tembakau yang turun ini terutama dari sektor sigaret kretek mesin (SKM) Golongan 1 dan sigaret putih mesin (SPM) Golongan 1. Penurunan ini berdasarkan catatan Sri Mulyani juga dipengaruhi oleh tingginya basis produksi pada Maret 2022 akibat kenaikan PPN.
“Oleh karena itu, meski terjadi kenaikan dari tarif namun karena produksi turun maka penerimaan cukai adalah Rp 105,9 triliun, atau kontraksi 12,2%. Dua tahun berturut-turut cukai tumbuh cukup tinggi yaitu 32% tahun lalu dan 21% pada 2021,” ucapnya.
Untuk kinerja bea keluar yang turun, kata dia disebabkan realisasinya yang hingga semester I-2023 hanya sebesar Rp 5,3 triliun, atau turun 77% dari realisasi semester I-2022 sebesar Rp 23,1 triliun. Saat itu, penerimaan bea keluar malah naik sebesar 75,5%.
Penyebab turunnya bea keluar adalah harga CPO yang lebih rendah dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pada pertengahan tahun ini harga CPO sebesar US$ 879,6 per metrik ton, sedangkan pada 2022 mencapai US$ 1.533,3 per metrik ton.
Selain itu, ia mengungkapkan, juga disebabkan turunnya volume ekspor tembaga dan bauksit, serta menurunnya tarif bea keluar produk mineral dampak hilirisasi SDA.
Sementara itu, penerimaan dari bea masuk masih tumbuh, meskipun persentase pertumbuhannya jauh melemah. Realisasi penerimaan bea masuk pada semester I-2023 sebesar Rp 24,2 triliun atau tumbuh 4,6% dari semester I-2022 sebesar Rp 23,1 triliun yang tumbuhnya 30,5%.
Ia menekankan, kondisi penerimaan bea masuk itu disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah serta tarif efektif bea masuk yang naik meskipun utilitas atau penggunaan fasilitas free trade agreement (FTA) juga mengalami kenaikan. Nilai tukar rupiah sendiri sudah di level Rp 15.071 per dolar AS dari yang periode sama tahun sebelumnya Rp 14.445 per dolar AS.
“Yang masih beri pertumbuhan positif adalah bea masuk karena impor tadi melonjak tinggi dan kurs rupiah yang melemah di atas Rp 15.000 memberi kontribusi ke bea masuk Rp 24,2 t yang tumbuh 4,6%,” tutur Sri Mulyani.