New York – Dengan kecepatan 1-2 milimeter per tahun, Kota New York perlahan mulai tenggelam akibat beban berat gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Meskipun beberapa milimeter terdengar sepele, namun dampaknya signifikan bagi kota yang berpenghuni 8 juta jiwa dan terletak di dataran rendah yang rentan.
Data ini diperoleh berdasarkan studi terbaru dan hasil penelitian ini telah mempublikasikan di Earth’s Future. Dalam studi baru ini, ahli geologi Tom Parsons dari Survei Geologi Amerika Serikat dan rekan-rekannya di Universitas Pulau Rhode menghitung massa kumulatif lebih dari 1 juta bangunan di New York City.
Penurunan Permukaan Bumi
Memperkirakan beban gedung-gedung pencakar langit itu mencapai 764.000.000.000 kilogram atau 1,68 triliun pound. Kemudian mereka membagi kota menjadi kotak berukuran 100 kali 100 meter persegi dan mengubah massa bangunan menjadi tekanan ke bawah dengan memperhitungkan tarikan gravitasi.
Kemudian para peneliti membandingkan model ini dengan data satelit yang mengukur ketinggian permukaan tanah. Untuk memetakan perkiraan penurunan muka tanah di seluruh kota. Meningkatnya urbanisasi, termasuk pengurasan dan pemompaan air tanah, semakin menambah penurunan muka tanah di New York.
“Tujuan dari makalah ini adalah untuk meningkatkan kesadaran bahwa setiap bangunan tinggi tambahan yang terbangun di pesisir, sungai, atau tepi danau dapat berkontribusi terhadap risiko banjir di masa depan,” tulis Tom Parsons terkutip dari SINDOnews dari laman ScienceAlert, Kamis (18/5/2023).
Secara teknis kasus ini disebut subsidensi, yaitu penurunan permukaan bumi secara bertahap atau tiba-tiba. Ini terjadi ketika sedimen lunak bergeser atau beban yang menahan tanah mendorongnya lebih dalam lagi. Memang ada banyak faktor penyebab, tetapi memasukan beban gedung bertingkat di atas kota masih jarang terpelajari.
Kota New York tentu saja tidak sendirian yang mengalami penurunan permukaan bumi. Sebuah studi tahun 2022 terhadap 99 kota pesisir di seluruh dunia. Menemukan bahwa penurunan muka tanah sebenarnya dapat menimbulkan masalah yang lebih besar.
Namun, masalah ini kadang terabaikan, dari pada dengan masalah kenaikan permukaan laut. Misalnya, seperempat ibu kota Indonesia, Jakarta, memperkirakan bisa berada di bawah air pada tahun 2050. Dengan sebagian kota tenggelam hampir 11 sentimeter per tahun karena ekstraksi air tanah.
Lebih dari 30 juta penduduk Jakarta kini mempertimbangkan prospek relokasi kota atau menggandakan aksi iklim, seperti memilih bus listrik. New York, sebagai perbandingan, menempati urutan ketiga dalam keterpaparannya terhadap banjir di masa mendatang.
Sebagian besar Manhattan yang lebih rendah terletak hanya 1 dan 2 meter di atas permukaan laut saat ini. Badai pada tahun 2012 (Sandy) dan 2021 (Ida) juga menunjukkan seberapa cepat kota yang sebagian besar beraspal itu dapat terbanjiri air.
“New York adalah lambang pertumbuhan kota-kota pesisir di seluruh dunia yang diamati akan mereda. Ini berarti ada tantangan global bersama untuk mitigasi terhadap bahaya genangan yang meningkat,” ujar para peneliti menyimpulkan.