Jakarta – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas mencatat, jumlah stunting atau anak yang kekurangan asupan gizi sehingga gagal tumbuh masih banyak di 12 provinsi. Akibatnya, intervensi penanganan akan dilakukan pemerintah pusat.
Secara nasional, tingkat stunting di tengah-tengah masyarakat mencapai 21,6% dari total penduduk pada 2022, atau turun dari catatan tahun sebelumnya 24,4%. Namun, pada 2024, Kementerian PPN/Bappenas menargetkan penurunan signfikan hingga tersisa hanya 14%.
Penurunan Stunting sebagai Upaya Multidimensi dan Multi-Stakeholder di Indonesia
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan bahwa penurunan tingkat kemiskinan ekstrem yang signifikan sangat penting untuk mendukung kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa depan.
“Saat ini memang angka kekurangan gizi pada pertumbuhan anak kita mencapai 21,6%. Tentu pada tahun 2024, target kita adalah mengurangi kekurangan gizi menjadi 14%, karena hal ini penting untuk memastikan kualitas SDM ke depan,” kata Amalia dalam program Economic Update CNBC Indonesia, dikutip pada Jumat (14/7/2023).
Namun, dia mengakui bahwa penurunan tingkat kekurangan gizi bukanlah hal yang mudah karena masih ada 12 provinsi di Indonesia yang memiliki persentase kekurangan gizi yang lebih tinggi daripada angka nasional, termasuk di pulau Jawa. Oleh karena itu, intervensi penanganan akan dilakukan di sana.
Adapun 12 provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 35,3%, Sulawesi Barat 35%, Nusa Tenggara Barat 32,7%, Aceh 31,2%, Kalimantan Barat 27,8%, Sulawesi Utara 27,7%, Kalimantan Selatan 24,6%, Jawa Barat 20,2%, Jawa Timur 19,2%, Jawa Tengah 20,8%, Sumatera Utara 21,1%, dan Banten 20%.
“Pertama, kita akan memperkuat intervensi di 12 provinsi yang menjadi prioritas, di mana provinsi-provinsi tersebut memiliki tingkat kekurangan gizi yang paling tinggi dan jumlah anak balita yang mengalami kekurangan gizi terbesar,” tegas Amalia.
Setelah dilakukan pemetaan intervensi, strategi kedua pemerintah untuk mengurangi angka kekurangan gizi adalah dengan memberikan pendampingan kepada keluarga prioritas melalui tim pendamping keluarga, untuk memastikan bahwa ibu hamil dan anak balita mereka mendapatkan asupan nutrisi yang baik.
Selain itu, strategi ini juga melibatkan peningkatan intervensi spesifik seperti pemberian makanan tambahan, asupan vitamin, imunisasi, dan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif. Selain itu, diperlukan penguatan data rutin untuk memenuhi standar pengukuran dan pelatihan bagi kader di seluruh posyandu di Indonesia.
“Kita juga akan memperkuat konvergensi pembiayaan, terutama dalam hal koordinasi anggaran antara kementerian-lembaga, dana alokasi khusus (DAK), dan dana desa, agar dapat berkolaborasi secara efektif dan efisien dalam mengurangi kekurangan gizi,” ujar Amalia.
“Jadi, penurunan kekurangan gizi bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kesehatan saja, tetapi juga melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk memastikan infrastruktur, sanitasi, air minum, serta peran pemerintah daerah. Ini merupakan upaya multidimensi dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan,” tambah Amalia.
eputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, penurunan tingkat kemiskinan ekstrem secara signifikan ini penting untuk menunjang kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia pada masa depan.
“Saat ini memang angka stunting kita 21,6% tentu di 2024 kita punya target turunkan stunting menjadi 14%, karena ini penting stunting untuk menjamin kualitas SDM kita ke depan,” ujar Amalia dalam program Economic Update CNBC Indonesia, dikutip Jumat (14/7/2023).
Namun, dia mengakui, penurunan tingkat stunting itu bukan perkara mudah karena masih ada 12 provinsi di Indonesia yang persentase jumlah stunting lebih besar dari jumlah agregat nasional, diantaranya pun berlokasi di pulau Jawa. Oleh sebab itu, intervensi penanganan akan dilakukan di sana.
Adapun 12 provinsi itu adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 35,3%, Sulawesi Barat 35 %, Nusa Tenggara Barat 32,7%, Aceh 31,2%, Kalimantan Barat 27,8% Sulawesi Utara 27,7%, Kalimantan Selatan 24,6%, Jawa Barat 20,2%, Jawa Timur 19,2%, Jawa Tengah 20,8%, Sumatera Utara 21,1%, dan Banten 20%.
“Pertama kita akan perkuat intervensi di 12 provinsi prioritas, di mana provinsi-provinsi itu lah yang memiliki prevelansi stunting tertinggi dan jumlah balita stunting terbesar,” tegas Amalia.
Setelah pemetaan intervensi dilakukan, strategi kedua pemerintah untuk menurunkan angka stunting adalah dengan pendampingan kepada keluarga prioritas melalui tim pendamping keluarga supaya memastikan ibu-ibu hamil dan anak balitanya memiliki asupan nutrisi yang baik.
Kemudian, meningkatkan penguatan intervensi spesifik seperti pemberian makanan tambahan, asupan vitamin, imunisasi dan air susu ibu (ASI) eksklusif. Lalu, ada penguatan data rutin untuk memenuhi alat ukur terstandar dan pelatihan kader di seluruh posyandu Indonesia.
“Juga dengan penguatan konvergensi pembiayaan, terutama nanti bagaimana belanja kementerian lembaga, DAK dan dana desa bisa saling koheren dan saling sinergi untuk berpadu menurunkan stunting dengan lebih efektif dan efisien,” tutur Amalia.
“Jadi tunting bukan hanya Kemenkes tentunya, ada kementerian PUPR untuk memastikan infrastruktur, sanitasi, air minum misalnya, lalu kemudian juga ada peranan pemda, dan ini sekali lagi penurunan stunting kemiskinan adalah upaya multidimensi dsn multi-stakeholder,” ucap Amalia.