Jakarta – Fenomena Aphelion sedang menghebohkan Indonesia. Kabar yang sedang beredar di masyarakat menimbulkan kekhawatiran karena dikatakan bahwa Aphelion terjadi ketika bumi berada pada jarak terjauh dari matahari dalam periode revolusinya. Akibatnya, Indonesia mengalami suhu yang dingin. Namun, informasi ini tidak sepenuhnya akurat.
Menurut Biro Hukum dan Organisasi Bagian Hubungan Masyarakat BMKG, “Saat terjadi Aphelion, matahari memang berada pada jarak terjauhnya dari bumi. Namun, kondisi ini sebenarnya tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap atmosfer atau cuaca di permukaan bumi.” Penjelasan ini diberikan pada hari Sabtu (8/7/2023).
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisikan (BMKG) menegaskan bahwa fenomena Aphelion adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Sementara kondisi cuaca dingin yang terjadi di wilayah Indonesia pada periode bulan Juli tidak terkait dengan fenomena Aphelion.
Fenomena suhu udara dingin, menurut BMKG, sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli – September).
Saat ini, wilayah Pulau Jawa hingga NTT berada pada musim kemarau. Periode ini ditandai pergerakan angin dari arah timur-tenggara yang berasal dari Benua Australia.
Kemudian, pada Juli, wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia atau dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia yang bertiup menuju wilayah Indonesia melewati perairan Samudra Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih dingin, sehingga mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) terasa juga lebih dingin.
“Selain dampak angin dari Australia, berkurangnya awan dan hujan di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara turut berpengaruh ke suhu yang dingin di malam hari. Sebab, tidak adanya uap air dan air menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer,” ungkap BMKG.
Tak hanya itu, langit yang cenderung bersih awannya (clear sky) akan menyebabkan panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepas ke atmosfer luar sehingga kemudian membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin terutama pada malam hingga pagi hari. Hal ini yang kemudian membuat udara terasa lebih dingin terutama pada malam hari.
“Fenomena ini merupakan hal yang biasa terjadi tiap tahun, bahkan hal ini pula yang nanti dapat menyebabkan beberapa tempat seperti di Dieng dan dataran tinggi atau wilayah pegunungan lainnya, berpotensi terjadi embun es (embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang.” tegas BMKG.