Jakarta – Program biodiesel di Indonesia telah berjalan sejak beberapa tahun yang lalu dengan awalnya menggunakan kandungan biodiesel Indonesia rendah sebesar 2,5%. Menurut Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan, program ini telah memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, termasuk dalam hal penyerapan tenaga kerja yang melibatkan jutaan orang.
Awalnya kita mengimpor energi, tetapi sekarang kita dapat memproduksi sendiri, dan dampaknya berlanjut. Jika kita membeli, uang akan hilang, tetapi jika kita memproduksi, akan ada dampak yang positif. Program ini juga menciptakan lapangan kerja, tahun ini saja produksi kelapa sawit untuk energi telah melibatkan 1,6 juta orang,” ungkap Paulus dalam Sawit Week Indonesia, pada Senin (3/7/2023).
BIodiesel Indonesia Berikan Dampak Signinfikan Pada Perekonomian Indonesia
“Program ini pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 2006, namun saat itu hanya diterapkan di Jakarta dengan kadar biodiesel 2,5%, kemudian meluas ke Cikampek, Banten, dan sekarang setelah 17 tahun sudah mencapai 30%. Dampaknya terhadap perekonomian sangat besar, terutama dalam hal energi.
Tingginya penyerapan tenaga kerja juga sejalan dengan upaya Indonesia dalam mengurangi ketergantungan harga sawit dunia. Jika terlalu menggantungkan pada mekanisme harga pasar dunia, maka harga sawit Indonesia akan dengan mudahnya jatuh.
“Upaya biodiesel bahan bakar nabati untuk menyeimbangkan harga dunia, kalau jatuh gak banget, jadi baik untuk kita terutama petani. Emang kadang turun, tapi gak begitu jatuh,” kata Paulus.Selain itu, dari sisi impor energi, Indonesia tidak perlu mengimpor banyak energi untuk bisa memenuhi bahan bakar minyak (BBM). Dengan program B35 yang sudah berjalan, bisa menyerap 13,15 juta kilo liter atau sekitar 80 juta barel hanya untuk tahun ini. Pun dengan pengurangan emisi.
“Lalu mengurangi impor solar, kalau program B35 sempurna berjalan bisa hemat Rp 140 triliun, kita bisa gantikan biodiesel. Lalu pengurangan emisi, hingga kini setara ekuivalen 30-32 juta ton Co2,” sebut Paulus.
“Transisi energi kita ingin mengurangi emisi. Dari sisi pengembangan teknologi biodiesel saat 2,5% di 17 tahun lalu dan sekarang sangat berbeda, misal dari kadar air sudah sangat kurang, ada macam-macam keunggulan dari sisi teknis. Di mesin akan lebih baik seperti lebih bersih karena bersifat seperti sabun yang membersihkan kotoran. Kita bisa mengurangi impor,” sebutnya.