Jakarta – Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memperkirakan bahwa iuran BPJS Kesehatan berpotensi mengalami kenaikan pada Juli 2025, karena ada perubahan tarif standar layanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2023.
Peraturan Menteri Kesehatan tersebut menetapkan tarif standar terbaru yang akan menggantikan tarif pelayanan kesehatan yang sebelumnya berlaku untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016.
Anggota DJSN Muttaqien dengan kebijakan ini, surplus aset neto BPJS Kesehatan hingga 31 Desember 2023 yang sebesar Rp 56,50 triliun bisa berbalik negatif pada 2025. Defisit ini akan muncul pada Agustus-September 2025, sekitar Rp 11 triliun. Muttaqien mengatakan defisit ini berdasarkan hitungan aktuaria.
Sebelum periode ini, dia mengungkapkan perlu adanya penyesuaian tarif sebelum periode tersebut.
Anggota DJSN Muttaqien mengatakan defisit ini berdasarkan hitungan aktuaria. “Agustus atau September itu kira-kira mulai ada defisit dari BPJS Kesehatan dana DJS Kesehatan ini. Kami sampaikan hitung sekitar Rp 11 triliun lah ya,” tuturnya. Seperti dikutip di laman CNBC, Rabu (20/7/2023).
Sayangnya, dia belum bisa merincikan besaran kenaikan iuran dan persentase kenaikannya. Pasalnya, kenaikan ini akan mengandalkan banyak pertimbangan, termasuk calon presiden pengganti Presiden Joko Widodo pada 2024 mendatang.
Selain itu, juga ada hitungan utilitas atau pemanfaatan BPJS Kesehatan yang meningkat hingga 2023, ditambah dengan adanya perluasan kontrak antara BPJS Kesehatan dengan pihak rumah sakit dari 2.963 pada 2022 menjadi 3.083 pada 2024.
Namun, Muttaqien menegaskan potensi kenaikan tarif iuran itu belum mempertimbangkan rencana kebijakan implementasi single tarif iuran atau kelas rawat inap standar (KRIS) yang menghapus sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan.
“Itu belum, karena ini intervensi kebijakannya baru intervensi dari Permenkes 3 ya dari tarif faskes. Nah tentu nanti kami DJSN sedang simulasi lagi tadi disampaikan oleh Pak Dirut, kita sedang monev kira-kira bagaimana pelaksanaannya dan simulasi lagi kira-kira bagaimana pelaksanaannya, dan simulasi lagi kira-kira nanti seperti apa,” ungkapnya.
Sementara itu, terkait dengan aturan yang menjadi acuan penerapan KRIS sendiri dan perubahan tarif BPJS Kesehatan dalam revisi ketiga Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018, dia mengaku dokumennya sudah di meja Presiden Joko Widodo. Namun, aturan tersebut belum ditandatangani hingga saat ini.
“Kalau revisi Perpres 82 infonya sudah menunggu tanda tangan dari Presiden. Infonya seperti itu (sudah di meja Jokowi) karena sudah harmonisasi antara kementerian/lembaga dan kita menunggu kira-kira kapan akan dikeluarkan revisi ketiga dari Perpres 82 tahun 2018 tersebut,” tegas Muttaqien.