Jakarta – Saat memasuki tahun politik, para menteri yang berasal dari dunia politik mulai intensif dalam melakukan berbagai tindakan strategis guna memperoleh dukungan dan citra yang positif dari masyarakat. Sayangnya, upaya ini berdampak pada penundaan tugas-tugas pemerintahan yang harus diselesaikan oleh para menteri.
Pada Sidang Kabinet di Istana Kepresidenan pada hari Senin (3/7/2023), Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tegas mengingatkan para anggota kabinetnya untuk mengutamakan kepentingan nasional di atas persaingan politik.
Implikasi Politik Terhadap Rendahnya Realisasi Belanja Pemerintah
“Utamakan kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional, jangan sampai karena ada persaingan politik, program pemerintah jadi terhambat,” ujar Jokowi dikutip Senin (10/7/2023).
Jokowi bilang, bahwa situasi yang akan dihadapi pada paruh kedua tahun 2022 tidak mudah. Kondisi global akibat ketegangan geopolitik masih tinggi. Para menteri dan pimpinan lembaga pun harus mengutamakan program pemerintah.
Jokowi meminta agar belanja APBN dan APBN Tahun Anggaran 2023 harus fokus terhadap belanja barang dan modal dalam negeri. Juga memastikan agar bantuan sosial (bansos) bisa disalurkan tepat waktu dan tepat sasaran.
Kekesalan Jokowi memang cukup mendasar, sebab realisasi belanja negara dalam APBN semester I-2023 masih relatif rendah yakni Rp 1.254,7 triliun atau baru mencapai 41% dari pagu yang sebesar Rp 3.061,2 triliun.
Realisasi belanja pemerintah hingga semester I-2023 hanya tumbuh 0,9% dibandingkan dengan realisasi belanja semester I-2022. Pertumbuhan belanja negara ini sangat rendah dibandingkan dengan tren pertumbuhan belanja semester I di periode-periode sebelumnya.
Di mana pada semester I-2022 realisasi belanja negara mampu tumbuh 6,3% secara tahunan (year on year/yo). Bahkan realisasi belanja di masa sebelum pandemi atau semester I-2019 mampu tumbuh 9,6% secara tahunan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyebut, bahwa pada semester I-2023, APBN tercatat surplus Rp 152,3 triliun. Surplus tersebut berasal dari pendapatan negara yang sebesar Rp 1.4079 triliun serta belanja negara yang mencapai Rp 1.254,7 triliun pada Januari-Juni 2023.
Apakah surplus APBN hingga semester I-2023 tersebut pertanda baik untuk ekonomi Indonesia?
Ekonom Senior sekaligus Menteri Keuangan (periode 2013-2014) Muhammad Chatib Basri mengungkapkan, surplus APBN hingga semester I-2023 justru mencerminkan sebenarnya tidak banyak anggaran yang dibelanjakan pemerintah untuk masyarakat.
“Pemerintah bicara fiskal surplus. Tapi, itu sebetulnya cerminan pemerintah tidak belanja,” jelas Chatib kepada CNBC Indonesia saat dihubungi, Jumat (7/7/2023).
“Kenapa fiskal terjadi surplus, artinya penerimaan pajak lebih besar dibandingkan yang dikeluarkan. Kalau pemerintah surplus, itu sungguh kontraksi, karena yang ditarik dari masyarakat lebih banyak dibandingkan yang di spend (dikeluarkan) pemerintah melalui belanja,” kata Chatib lagi.
Pandangan lain datang dari Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Menurut Tauhid masih rendahnya realisasi belanja negara hingga semester I-2023 mencerminkan kurangnya tata kelola dan disiplin pemimpin kementerian/lembaga negara.
Tauhid khawatir, masih rendahnya realisasi belanja pemerintah hingga semester I-2023 berdampak pada sumbangan belanja negara ke perekonomian semakin turun.
“Implikasinya adalah ketika belanja pemerintah rendah, itu berarti sumbangan di dalam stimulus perekonomiannya menjadi lebih rendah,” kata Tauhid kepada CNBC Indonesia, Minggu (9/7/2023).
Persoalan tata kelola dari pemimpin K/L, kata Tauhid juga harus disoroti, mengingat tahun ini adalah tahun politik. Ada 16 menteri kabinet merupakan anggota aktif partai politik.
“Ketika banyak terutama pimpinan kementerian/lembaga berasal dari partai, dia lebih sibuk memperhatikan di daerah pilihan yang merupakan wilayah partai dia. Itu yang dikhawatirkan mengganggu jalannya ritme K/L dalam penyerapan anggaran. Saya kira itu yang paling utama,” jelas Tauhid.
Lebih lanjut, kata Tauhid, karena sibuk mengurus proses politik, akhirnya manajemen tata kelola, koordinasi dengan para Eselon 1, 2 atau jabatan kementerian di bawahnya menjadi tidak cepat untuk merealisasikan anggaran.
Pengawasan internal yang dibangun oleh sistem yang dibangun masing-masing K/L, menurut Tauhid juga masih relatif kurang berjalan.
“Ini saya kira soal efeknya. Kan tidak ada juga upaya penghematan. Menurut saya dari Kementerian Keuangan juga tidak ada arahan untuk upaya penghematan, dalam rangka persiapan pemilu misalnya. Jadi, seharusnya K/L bisa belanja sesuai perencanaan yang sudah dibuat,” tuturnya.
Meskipun belum ada rincian detail mengenai keseluruhan realisasi belanja APBN semester I-2023 oleh Kementerian Keuangan, namun perlu kiranya Presiden Jokowi untuk bertindak tegas, jika memang ternyata rendahnya serapan anggaran ini ada kaitannya dengan posisi para menteri yang juga merupakan anggota aktif parpol.
“Harus dipanggil oleh presiden (Jokowi), kementerian atau lembaga mana yang realisasinya rendah, ada apa. Apakah konsentrasinya mengurus kementerian atau ada hal lain,” kata Tauhid lagi.