Samarinda – Selama tujuh tahun bersitegang, hubungan Iran-Arab Saudi kini semakin mesra. Raja Salman bahkan mengundang Presiden Iran Ebrahim Raisi untuk berkunjung. Undangan itu seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa rekonsiliasi telah berhasil.
’’Dalam surat kepada Presiden Raisi, raja Arab Saudi menyambut kesepakatan dua negara dan mengundangnya ke Riyadh. Presiden Raisi menyambut undangan tersebut,’’ cuit Mohammad Jamshidi, wakil kepala staf kepresidenan untuk urusan politik, seperti dikutip Agence France-Presse.
Memang, Saudi belum mengonfirmasi kebenaran undangan itu. Pun belum ada kejelasan kapan Raisi bakal berkunjung ke Riyadh. Yang jelas, Saudi akan membuka lagi kantor kedutaan besar dan misi luar negeri mereka di Iran. Begitu pula sebaliknya. Pembukaan akan dilakukan dalam dua bulan ke depan.
Sebelumnya, Riyadh putus hubungan dengan Teheran sejak Januari 2016. Ketika itu massa menyerbu kedutaan besar Saudi di Iran. Penyebabnya adalah eksekusi mati ulama Syiah Nimr al-Nimr. Beberapa negara teluk akhirnya mengikuti jejak Saudi dan memutus hubungan dengan Iran. Namun, baru-baru ini, Uni Emirat Arab (UEA) dan Kuwait sudah memperbaiki hubungan dengan Iran.
Pemerintah Iran juga memulihkan hubungan dengan Iraq. Minggu (19/3), dua negara itu menandatangani kesepakatan untuk memperketat area perbatasan. Area utama yang akan dijaga adalah perbatasan dengan wilayah Kurdi, Iraq. Teheran menyebut para pembangkang Kurdi yang bersenjata menimbulkan ancaman bagi keamanan mereka.
’’Di bawah kesepakatan keamanan yang ditandatangani itu, Iraq berjanji tidak akan mengizinkan kelompok bersenjata untuk menggunakan teritorial mereka di wilayah Kurdi guna melancarkan serangan yang menyeberang perbatasan Iran,’’ ujar pejabat keamanan Iraq yang menghadiri penandatanganan tersebut.
Sementara itu, kini Iran memiliki pengaruh yang cukup besar di Iraq. Tepatnya setelah invasi Amerika Serikat (AS) ke Iraq. Kemarin tepat 20 tahun peringatan invasi AS ke Iraq yang berhasil menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Presiden AS kala itu, George W. Bush, menuding ada senjata pemusnah massal di Iraq. Namun, hingga perang usai, senjata itu tidak pernah ditemukan.
Kini, setelah pasukan AS yang didukung Inggris mundur dan Saddam Hussein digulingkan, situasi di Iraq tidak lebih baik. Situasi memang mulai kembali normal. Namun, luka sisa perang dan kehancuran negara tersebut belum sepenuhnya pulih.
’’Kami mengingat rasa sakit dan penderitaan rakyat pada tahun-tahun yang didominasi oleh perang yang tidak masuk akal dan sabotase sistematis,’’ ucap PM Iraq Mohammed Shia al-Sudani.