Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu mendukung kebijakan hilirisasi, namun kebijakan ini terus mendapat kritik dari komunitas internasional. IMF baru-baru ini menyarankan Indonesia untuk tidak menerapkan hilirisasi.
Meskipun demikian, penerapan kebijakan hilirisasi pada sektor komoditas nikel telah memberikan banyak keuntungan bagi perekonomian negara. Bahkan kebijakan ini dianggap berhasil dalam mengangkat Indonesia menjadi negara dengan pendapatan menengah atas.
Hilirisasi Nikel Mendorong Lonjakan Nilai Ekspor Sepuluh Kali Lipat
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengungkapkan, sumber daya alam yang ada di Indonesia saat ini sudah menghasilkan nilai tambah yang sangat besar untuk perekonomian. Dan hal ini sudah terbukti.
Misalnya saja hilirisasi nikel, yang tadinya pada 2017-2018 keuntungan ekspor hanya mencapai US$ 3,3 miliar, kemudian begitu diberhentikan ekspor nikel untuk tujuan hilirisasi, nilai ekspor lalu melonjak sepuluh kali lipat pada 2022 menjadi US$ 30 miliar.
“Dan ini merupakan kontributor besar bagi pencapaian kita menuju dan sudah berada di ekonomi berpendapatan menengah atas. Bagaimana kita dalam beberapa tahun terakhir, jadi salah satu faktor positif ekonomi stabil selama pandemi dan setelah pandemi, adalah kinerja dari hilirisasi kita,” jelas Febrio kepada CNBC, dikutip Kamis (6/7/2023).
Arah dari transformasi struktural dan hilirisasi, kata Febrio akan terus dipertahankan dan akan terus ditingkatkan, guna terciptanya lebih banyak lapangan pekerjaan.
“Lihat hilirisasi, kalau untuk nikel produksi feronikel, pig iron, bagaimana ke depan mendorong untuk lebih banyak nilai tambah di hilir lagi,” tutur Febrio.
“Misalnya stainles steel, bahkan bahan baterai untuk kendaraan listrik, dan mendorong terus untuk bangun ekosistem yang nilai tambahnya lebih tinggi lagi. Contohnya adalah otomotif yang arahnya akan semakin green,” kata Febrio.
Arah transformasi dan hilirisasi itu, diyakini pemerintah akan menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak di Indonesia,.
Sehingga ke depan dapat mengarahkan Indonesia menjadi negara maju dalam jangka menengah panjang, dan bisa terwujud pada 2045.
Sebelumnya, IMF dalam laporan terbarunya meminta Indonesia menghapus kebijakan pembatasan ekspor nikel secara bertahap, karena dinilai akan merugikan Indonesia.
Permintaan tersebut tertuang dalam dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia. IMF meminta, kebijakan hilirisasi, terutama nikel harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut.
Kebijakan hilirisasi oleh Indonesia, menurut IMF juga perlu dibentuk dengan mepertimbangkan dampak-dampak adanya potensi kehilangan pendapatan negara Indonesia, juga berdampak terhadap wilayah lain.