Xinjiang – China adalah rumah umat Muslim yang sangat tua. Syiar Islam di China sudah disuarakan tak lama setelah Nabi Muhammad meninggal pada 632 Masehi.
Tokoh yang membawa Islam ke China adalah Sa’ad bin Abi Waqash, atas perintah sahabat Nabi, Khalifah Usman bin Affan. Menurut Iqbal Shafi dalam “A Brief History of Muslims in China” (Institute of Strategic Studies Islamabad, 1983), kedatangan delegasi itu membuat penduduk China bersentuhan dengan syiar-syiar Islam untuk pertama kalinya.
Bukti fisik dari penyebaran Islam di China pun ada, yakni dua masjid kuno di Kanton, Kwang Tah Se dan Chee Lin Se. Keduanya adalah masjid tertua di China, konon pertama dibangun di luar kawasan Arab.
Mengacu pada data Council of Foreign Relations (2020), Islam menempati urutan tujuh dalam daftar agama yang dianut penduduk. Umat Muslim hanya minoritas, sekitar 22 juta atau 1,8% dari total penduduk China.
Mereka terbagi dalam 10 kelompok etnis. Terbesar adalah Hui, yang dianut mayoritas penduduk Han dan berada di Ningxia, wilayah Barat China.
Selain itu, etnis lain yang kerap merepresentasikan Muslim adalah kelompok Uighur. Mengutip VOA, Uighur memiliki 11 juta penduduk yang hidup di daerah otonomi China, Xinjiang.
Yang membuat kelompok ini terkenal adalah karena mereka dilaporkan kerap mengalami perlakuan tak menyenangkan dari otoritas China. Sejumlah pemberitaan media dan sumber memberitakannya, meski China menolaknya.
Dalam laporan Guardian berjudul “We’re a people destroyed’: Why Uighur Muslims Across China are Living in Fear”, diketahui kalau Muslim Uighur kerap mengalami tindakan represif berupa tuduhan teroris, penyiksaan, larangan beribadah, dan penahanan. Beberapa sumber mengatakan itu disebabkan alasan politik.
Sejak abad ke-20, Beijing menganggapnya kelompok ekstremis dan separatis, yang memberontak dan ingin membebaskan diri. Sementara Uighur menganggap mereka bukan bagian dari China karena memiliki perbedaan budaya.
Sikap ini berbeda dengan yang dialami Muslim Hui. Mereka awalnya tak mengalami penindasan karena mereka patuh dan mampu berasimilasi dengan kebudayaan lokal.
Namun, sikap politik Beijing yang keras terhadap kelompok terorisme membuat Muslim Hui terkena getahnya. Dalam laporan South China Morning Post dan Al-Arabiya di 2018, represi juga terjadi ke Hui, seperti pembatasan belajar agama, imam, larangan azan karena alasan “mengurangi polusi suara” dan simbol-simbol ke-Islaman.
Namun, di tengah tekanan itu, bagaimana eksistensi Islam di China?
Pada tahun 2015 survei dilakukan oleh National Survey Research Center (NSRC) dari School of Philosophy Renmin University of China. Dari wawancara 4.382 orang, diketahui kalau 22,4% anak muda China memeluk Islam, berada di peringkat pertama, diikuti Katolik dan Budha.
Riset lain berjudul “The Muslim Minority Nationalities of China: Toward Separatism or Assimilation” yang dilakukan tim dari Texas A&M University menyebut dalam kurun 1990-2008, penganut Muslim di China mengalami peningkatan. Dari angka saat ini, jumlahnya diprediksi melonjak menjadi 31 juta di tahun 2030.
Sedangkan untuk jumlah masjid, ada sekitar 30.000 ribu yang tersebar di Negeri Tirai Bambu. Mayoritas berada di Xinjiang.
Meski diprediksi bakal meningkat, tetap saja hantu represi akan selalu ada. Tak menutup kemungkinan peningkatan jumlah itu dibarengi dengan penghancuran masjid dan penindasan umat Muslim.