Samarinda – Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalimantan Timur (Disnakertrans Kaltim) Rozani Erawadi menyoroti penerapan upah miminum kabupaten/kota (UMK) oleh perusahaan swasta yang belum merata.
Menurutnya, sejumlah perusahaan masih memberikan upah para pekerja dengan nominal di bawah ketetapan pemerintah.
Rozani menandaskan, praktik seperti ini sebenarnya merupakan pelanggaran hukum.
“Kalau di bawah UMK itu pidana,“ katanya usai rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPRD Kaltim dan pegawai Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD), Senin, 28 April 2025.
Namun demikian, toleransi penerapan gaji atau upah di bawah UMK masih bisa diberikan bagi usaha mikro.
Pemberlakuannya dengan mempertimbangkan beberapa syarat tertentu, seperti besaran omzet dan jumlah pekerja. “Tapi di luar itu, perusahaan wajib bayar sesuai UMK,” tegasnya.
Karena kondisi di lapangan seperti itu, pihak Disnakertrans Kaltim membuka posko pengaduan tentang pembayaran gaji yang masih di bawah UMK. Pekerja yang keberatan dengan kebijakan tentang upah atau menemukan perusahaan tidak patuh dapat melapor.
“Silakan adukan ke pengawasan kami. Nanti kami cek, apakah sudah ada penetapan UMK-nya dan apakah dilaksanakan sesuai,” ucapnya.
Dengan upaya tersebut, Rozani berharap agar perusahaan swasta di Kaltim semakin patuh terhadap regulasi ketenagakerjaan demi perlindungan pekerja.
“Kami tidak mau buru-buru menghukum. Tapi, kalau sudah diingatkan dan tetap melanggar, tentu ada konsekuensinya,” tegasnya.
Selain soal penerapan UMK, RDP yang digelar di DPRD Kaltim itu juga membahas tentang realisasi Tunjangan Hari Raya (THR) oleh perusahaan beberapa waktu lalu.
Menurutnya, posko pengaduan Disnakertrans telah menerima sekitar 30 pengaduan terkait THR usai Lebaran 2025.
Rozani mengatakan bahwa tidak semua aduan disampaikan oleh pelapor secara lengkap. “Kurang lebih ada 20 sampai 30 aduan. Tapi memang tidak semuanya sempurna, ada yang tidak mencantumkan data lengkap, ada juga yang saat kami hubungi tidak merespons,” ungkapnya.
Meski demikian, petugas Disnakertrans tetap menindaklanjuti laporan yang masuk.
Adapun hasilnya ada beberapa kasus yang terpaksa dihentikan karena pihak pelapor mencabut aduan maupun tidak bisa dihubungi lagi.
“Kita tetap fasilitasi selama memang masih bisa ditindaklanjuti. Tapi, kalau datanya tidak lengkap atau kontaknya tidak aktif, ya tentu sulit,” ujarnya.
Rozani menambahkan bahwa sanksi terhadap perusahaan yang tidak membayarkan THR kepada pekerja wajib dikenakan denda sebanyak 5 persen dari niai THR.
“Yang kami tekankan adalah kepatuhan perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada pekerja, bukan mengejar dendanya,” tegasnya.
Dalam beberapa kasus, perusahaan langsung dipanggil untuk klarifikasi. Ia mencontohkan penanganan terhadap RSHD yang turut dibahas dalam RDP.
“Rumah Sakit Haji Darjad juga kami panggil. Intinya, kita komunikasikan supaya hak pekerja tetap dipenuhi,” katanya.
Ditanya soal progres penanganan, Rozani menyebut baru sekitar 10 persen kasus yang benar-benar tuntas. Sisanya masih dalam proses atau belum bisa ditindak karena keterbatasan dana.
“Ada juga aduan yang sebenarnya bukan ranah privat, misalnya guru atau tenaga kehutanan yang tidak di bawah perusahaan swasta. Untuk itu kami teruskan ke kementerian terkait,” jelasnya.
Rozani juga mengingatkan bahwa pemberian THR adalah hak normatif pekerja dan telah diatur dalam regulasi ketenagakerjaan.
Besaran THR biasanya setara satu bulan upah bagi pekerja yang telah bekerja satu tahun.Bagi yang masa kerjanya belum genap, perhitungannya secara prorata.
“Kalau baru kerja tiga bulan, ya hitungannya tiga per dua belas dikali gaji. Misalnya gajinya Rp4 juta, maka THR-nya ya disesuaikan,” jelasnya.