Samarinda – Polemik panjang soal tunggakan upah pekerja proyek Teras Samarinda akhirnya dinyatakan tuntas. Anggota Komisi III DPRD Samarinda, Abdul Rohim, menyambut baik penyelesaian tersebut dan menyebutnya sebagai akhir yang bahagia bagi semua pihak, terutama para pekerja.
“Pertama, saya ingin sampaikan syukur bahwa polemik yang sudah terjadi kurang lebih satu tahun ini akhirnya berakhir dengan indah. Berupa upah pekerja Teras Samarinda yang jadi simbol kebanggaan di Samarinda bisa tertunaikan,” ucap Abdul Rohim eksklusif dalam podcast bersama infosatu.co di program Kabar Tuntas, Jum’at, 11 April 2025.
Menurutnya, pencairan upah tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah dan DPRD dapat menyelesaikan masalah krusial asalkan ada kemauan dan komunikasi yang baik. Ia mengakui ada beberapa penyesuaian teknis di lapangan, namun secara umum penyelesaian ini menjadi kabar baik setelah berlarut-larut tanpa kepastian.
Namun, Rohim juga mengingatkan bahwa persoalan ini tidak boleh berhenti hanya sebagai catatan sukses. Ia menekankan pentingnya menjadikan kasus Teras Samarinda sebagai pembelajaran bersama, khususnya bagi instansi teknis seperti Dinas PUPR Samarinda.
“Ini harus menjadi bahan untuk semua pihak sebagai bahan pembelajaran. Masing-masing ambil positif, termasuk kepada rekan dan mitra kami di Pemkot. Semoga ini jadi bahan introspeksi agar seluruh aktivitas yang diupayakan tidak meninggalkan residu atau polemik yang tidak produktif,” katanya.
Ia menyebut bahwa salah satu akar masalah muncul karena kurangnya komunikasi antar jajaran, sehingga isu tunggakan upah bisa membesar dan mengganggu kepercayaan publik.
“Ini soal hak. Jadi harus ditunaikan sejak awal, jangan sampai ada pekerja yang menanti lama dan akhirnya memunculkan kegaduhan. Pemerintah harus pastikan ini tidak terulang,” tegasnya.
Menanggapi pertanyaan publik soal insiden emosional yang sempat viral, di mana dirinya diduga melempar sesuatu ke arah pihak Dinas PUPR saat rapat berlangsung, Rohim memberikan klarifikasi dengan gaya santai.
“Saya rasa saya lempar itu bukan ke siapa pun. Jadi jaraknya sebenarnya 2 sampai 3 meter. Artinya memang nggak ada yang kena. Itu bukan melempar ke dia, saya lempar ke dinding. Jadi dua-duanya tepat ke arah dinding, atas keinginan saya mengekspresikan kemarahan. Saya minta maaf ke dinding saja,” ucapnya sambil tersenyum.
Pernyataan itu menjadi penutup reflektif dan sekaligus simbol upaya meredam ketegangan dengan pendekatan yang lebih terbuka. Rohim berharap insiden ini menjadi titik balik bagi komunikasi antar lembaga di Samarinda agar lebih sehat dan tidak menimbulkan polemik baru.