Jakarta – Presiden Joko Widodo menolak memberikan penjelasan yang rinci mengenai perubahan Aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang terdapat dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa revisi PP tersebut masih dalam proses dan akan segera ditandatangani oleh Presiden. “Kita hanya perlu menunggu tanda tangan,” kata Airlangga kepada wartawan di DPR pada Rabu (12/4/2023).
Kemenko Perekonomian Kirim Draft Revisi Aturan Devisa Hasil Ekspor ke Kemensetneg
Dalam kesempatan ini, Airlangga mengaku tidak ada tekanan atau hambatan atas rilis aturan ini. Hanya saja, Presiden belum meneken beleid tersebut.
Sebelumnya Kemenko Perekonomian juga mengaku telah mengirimkan draft terbaru dari revisi aturan ini kepada Kemensetneg dan langsung diterima oleh Mensesneg Pratikno.
Aturan baru tersebut akan memperluas penempatan DHE yakni, sumber daya alam (SDA) dan hilirisasi SDA dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK).
Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kemenko Perekonomian Elen Setiadi sebelumnya menjelaskan, mengenai apa saja yang akan diatur di dalam PP 1/2019 versi terbaru.
Pada dasarnya, perumusan aturan terbaru penempatan DHE di dalam negeri, sudah berdasarkan beberapa data di dalam negeri dan dengan mempelajari dari aturan penempatan DHE di negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia.
Elen menjelaskan, berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) perputaran dolar atau devisa oleh para eksportir, terdapat alokasi devisa yang masih bisa untuk di tahan di dalam negeri.
“Dari data yang ada mostly sekitar 35%. Ini sebenarnya adalah dana yang sebenarnya dia tidak gunakan lagi untuk pengembangan usaha, kegiatan berikutnya, dan lain sebagainya,” jelas Elen.
Pun, jika dibandingkan dengan aturan penempatan DHE di dalam negeri oleh Thailand dan Malaysia, kata Elen ada kewajiban untuk disimpan, bahkan dikonversi. Sementara aturan yang berlaku di Indonesia selama ini dinilai tidak menyeluruh.
“PP DHE kita itu tanggung, sudah melakukan itu (menahan DHE di dalam negeri), tapi tidak termasuk berapa lama retensinya, berapa besar konversi, dan lain sebagainya,” tutur Elen lagi.
Menurutnya, lewat aturan aturan DHE yang masih berlangsung saat ini juga, para eksportir biasanya dengan mudah memasukan dan mengeluarkan devisanya. Artinya tidak ada kedisiplinan yang tegas yang diatur, karena sanksinya bervariatif.
Aturan DHE yang ada saat ini, kata Elen sanksi jika eksportir tidak menempatkan DHE di dalam negeri berupa sanksi administratif berupa denda hingga penangguhan ekspor atau pencabutan izin usahanya.
Akan tetapi, aturan kedisiplinan itu, tidak terlalu substansial, yang dikenakan hanya berupa pembayaran denda administratif.
“Tentu bagi mereka berhitung. Bayar saja dendanya, karena denda itu dia tidak terlalu besar, dia tidak terlalu berdampak. Mendingan ambil uangnya, bayar dendanya, relatif lebih menguntungkan daripada tahan uang (DHE) di situ (di dalam negeri),” kata Elen.