Jakarta – Profesor asal Amerika Serikat (AS) Erika Lopez Prater menghebohkan dunia, usai dirinya menunjukkan dituduh sebagai islamofobia setelah menunjukan sebuah lukisan sosok Nabi Muhammad dari abad ke-14 di Universitas Hamline Sabtu, (8/7/2023)
Erika Lopez Prater menunjukkan lukisan itu pada mahasiswanya di Universitas Hamline di kota St. Paul di Minnesota, dalam mata kuliah seni Islam khususnya kursus seni global. Kejadian tersebut terjadi pada Oktober tahun lalu.
Setelah itu, seorang mahasiswi bernama Aram Wedatalla keberatan dengan aksi sang profesor. Dia menyatakan jika aksi itu sebagai Islamofobia.
“Sungguh menghancurkan hati saya bahwa saya harus berdiri di sini untuk memberi tahu orang-orang bahwa ada Islamofobia dan sesuatu yang benar-benar menyakiti kita semua, bukan hanya saya,” kata siswa yang merupakan presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim Hamline itu dikutip Al Jazeera, Minggu (9/7/2023).
Bagi umat Islam sendiri penggambaran Nabi Muhammad dilarang keras. Aksi tersebut dipandang sebagai pelanggaran iman.
Tak butuh waktu lama, Universitas Hamline juga langsung mengeluarkan tindakan keras atas Prater. Kampus tersebut memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak sang profesor.
Namun Prater balik menggugat Universitas Hamline. Menurut gugatan, kampus membuat Prater sebagai bagian dari diskriminasi agama dan pencemaran nama baik dan merusak reputasi profesional hingga pribadinya.
“Di antara hal-hal lain, Hamline, melalui administrasinya, menyebut tindakan Dr Lopez Prater sebagai ‘Islamofobia yang tidak dapat disangkal’,” kata pengacaranya dalam sebuah pernyataan.
“Komentar seperti ini, yang sekarang telah diterbitkan dalam berita di seluruh dunia, akan mengikuti Dr. Lopez Prater sepanjang kariernya, yang berpotensi mengakibatkan ketidakmampuannya untuk mendapatkan posisi tetap di lembaga pendidikan tinggi manapun.”
Pengacara Prater menyebutkan kliennya telah memberi peringatan sebelum gambar itu ditunjukkan. Selain itu dia telah memasukkan dalam silabus dan siap mengatasi siswa yang merasa tidak nyaman dengan pengajarannya.
Pihak kampus akhirnya mengubah sikap pada kejadian itu. Presiden Universitas Hamline Fayneese Miller dan Ketua Dewan Pengawas Ellen Watters mengatakan meninjau dan memeriksa kembali tindakan yang diambil kampus. Ini terjadi karena “komunikasi, artikel, dan opini”.
Pihak kampus tidak menanggapi langsung soal gugatan Prater. Namun hanya mengatakan berencana melakukan dua percakapan publik dalam beberapa publik.
Diskusi itu terkait kebebasan akademik dan perawatan siswa. Sementara percakapan lainnya terkait kebebasan akademik dan agama.