Jakarta – Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia nyatanya menemui banyak tantangan untuk menggapai cita-cita menjadi “raja” baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/ EV) di dunia.
Salah satu tantangan yang kini dihadapi yaitu “pengucilan” nikel RI oleh Amerika Serikat. Pasalnya, Amerika Serikat dikabarkan tidak akan memberikan subsidi hijau bagi produk baterai maupun kendaraan listrik yang memiliki kandungan nikel dari Indonesia.
Melalui undang-undang baru Inflation Reduction Act (IRA), AS diketahui bakal memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.
Namun demikian, insentif ini dikhawatirkan tidak berlaku atas mobil listrik dengan baterai yang mengandung komponen nikel dari Indonesia. Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS.
Lantas, bagaimana dengan mimpi Indonesia yang ingin menjadi “raja” baterai EV dunia?
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan menilai bahwa isu tersebut bukan lah hambatan yang membuat Indonesia gagal menjadi “raja” baterai EV.
Bara mengatakan, Indonesia telah memiliki kunci dan modal utama untuk tetap menjadi “raja” baterai dunia. Pasalnya, Indonesia merupakan penghasil nikel terbesar di dunia. Bahkan, Indonesia merupakan pemilik cadangan terbesar no.1 di dunia.
“Kita sudah dominan (nikel), karena 30% dari reserve nikel dunia itu ada di Indonesia. Kita nomor satu cadangan nikel dunia dan tidak bisa tergantikan,” jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam program ‘Mining Zone’, dikutip Selasa (11/4/2023).
Berdasarkan data USGS pada Januari 2020 dan Badan Geologi 2019, mengutip dari Booklet Nikel yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, jumlah cadangan nikel RI tercatat mencapai 72 juta ton nikel (termasuk nikel limonite/ kadar rendah). Jumlah ini mencapai 52% dari total cadangan nikel dunia sebesar 139.419.000 ton nikel.
Kondisi ini menurutnya akan menguntungkan RI karena Indonesia memiliki apa yang tidak dimiliki negara lain, termasuk AS.
“Kita punya keuntungan dalam menghadapi negara mana pun, termasuk AS,” tambahnya.
Dia juga mengatakan, salah satu yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia agar tetap menembus perdagangan ke AS adalah melalui forum-forum perdagangan.
“Tapi itu kalaupun nikel Indonesia nggak masuk (AS), bukan merupakan suatu end of the world, karena kita juga bisa melakukan perundingan dengan Amerika melalui forum-forum lain. Karena di sini kita belum punya agreement khusus dengan Amerika,” ungkapnya.
Dia mengatakan, Indonesia bukan satu-satunya negara yang dikecualikan dalam IRA. Menurutnya, masih banyak negara lain yang juga belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS. Negara-negara ini menggunakan forum bernama Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) untuk akses bernegosiasi dengan AS.
“Misal di Amerika, kita punya mempunyai semacam TIFA, Trade and Investment Framework Agreement. Itu suatu forum yang diskusikan negara Amerika untuk bisa diberikan semacam insentif perlakuan khusus, sehingga barang-barang mereka bisa masuk ke Amerika dengan tarif rendah maupun tarif yang nol sekalipun,” tambahnya.
Tak hanya itu, lanjutnya, Indonesia juga bisa bernegosiasi melalui forum lain seperti IPEF atau Indo-Pacific Economic Framework. Dalam forum tersebut, Indonesia memiliki akses pasar menuju AS.
“Juga ada namanya Indo-Pacific Economic Framework, IPEF ya, yang sudah berlangsung waktu pertemuan di Bali. Indonesia sudah mengajukan semacam permintaan agar dalam IPEF itu diberikan yang dinamakan market access, akses pasar terhadap Amerika. Itu negara-negara yang tergabung dalam negara IPEF itu,” tandasnya.
Oleh karena itu, Bara menilai Indonesia yang masih “dikucilkan” dari AS ini bukanlah perlakuan diskriminatif AS, khususnya terhadap nikel Indonesia. Melainkan, ini memang berlaku secara umum, termasuk negara-negara lain yang belum memiliki perjanjian perdagangan dengan AS.